Satu Jam yang Membuka Mata
Kamis, 8 Desember 2011
Hari ini gue sama temen-temen seangkatan dijadwalkan untuk ikut survei ke desa Cileles, Jatinangor. Kegiatan survei ini diadakan oleh Departemen Pengabdian Kepada Masyarakat ( Dept.PKM) dari BE HIMASTA 2011. Sebagai angkatan baru, kita diminta untuk berkontribusi aktif di kegiatan itu. Sebelum survei, kita harus kumpul dulu sekitar pukul 15.00 WIB untuk technical meeting, tapi ternyata tidak jadi technical meeting dan kita baru berangkat dari jurusan menjelang pukul 16.00 WIB. Kita berangkat dipandu sama beberapa kakak tingkat.
Singkat cerita, kita udah ada di sebuah pertigaan jalan deket kandang sapi. Kita pun berbelok ke arah yang ada kandang sapinya itu. Ketika berbelok ke jalan itu, gue langsung menerawang ke langit, ceritanya lagi flashback. Gue inget setiap kali gue naik angkot gretong atau odong-odong di kampus, cuma jalan itu yang nggak dilewatin ama angkot atau odong-odong. Gue penasaran dan berharap suatu hari nanti ada waktu buat jalan-jalan lewat situ. Dan harapan itu terkabul. Flashback udahan.
Pas lewat jalan itu, kita ngeliat 3 ekor sapi di kandang. “ ih, itu ada sapi! Sapi woy, sapi!!“ kata beberapa temen gue histeris. Gue ngebatin:
‘kasian mereka. Kayaknya nggak pernah liat sapi.’
Nggak lama kemudian, gue ngeliat ekor sapi-sapi itu berayun-ayun ke kanan-ke kiri. Gue dengan polosnya, “ eh, itu ekor sapinya gerak-gerak. Liat deh, liat tuh (sambil nunjuk-nunjuk, nggak kalah histeris)”.
Ternyata gue ama mereka sama aja.
Sepanjang jalan, gue sama temen-temen gue bersenda gurau. dari kejauhan, gue ngeliat di barisan depan ternyata ada yang bawa kamera. Mereka yang berada di sekitar pemilik kamera tentu mendapat jatah untuk foto-foto. Ah, sialan! Gue salah menempatkan diri. Harusnya gue ada di sekitar situ juga. Haha. Udah badan kecil, baris di belakang, ckckck.
Singkat cerita lagi, kita udah ada di desa Cileles. Tiap kelompok udah dikasih kuisioner, di situ ada beberapa pertanyaan sebagai bahan wawancara ke warga desa. Karena gue kelompok 1, jadi dapet giliran pertama. Dalam satu kelompok, kita berpasang-pasangan dan berpencar ke rumah-rumah warga. Gue sama partner gue, Dilla, kebagian survei ke 3 kepala keluarga. Ini kutipan proses wawancara ke salah satu kepala keluarga:
Gue : (mengetuk pintu) Assalamu’alaikum…
Dilla : Assalamu’alaikum
Pintu rumah belum dibuka, padahal dari luar jendela, keliatan ada bapak-bapak yang lagi nonton bola di dalem rumah. Setelah diketuk beberapa kali, sang bapak belum juga beranjak dan tetap fokus menonton bola. Rasanya gue pengen masuk, nyamperin si Bapak, menarik kerah baju si bapak dan bilang, “ pak, ada tamu!” *plakk..tentu hal itu nggak mungkin gue lakuin.
Dengan terpaksa gue dan Dilla sedikit meninggikan suara hingga beberapa oktaf supaya bapaknya denger. Dan…Alhamdulillah, bapaknya sadar kalo ada 2 orang anak kecil yang sedang meronta-ronta minta dibukakan pintu. Bapak tersebut pun membukakan pintu. Sang bapak mempersilahkan kita masuk dan duduk di sofa ruang tamu. Wawancara pun dimulai.
Dari wawancara itu, ada bagian yang sangat menyentuh.
Gue : maaf pak, pendidikan terakhir bapak apa ya?
Bapak : hm..(sambil tertawa kecil) SD, neng.
Gue tertegun, menghela nafas panjang
Gue : maaf pak, sekali lagi maaaafff, pendapatan per bulan bapak berapa?
Bapak : hm..(tertawa kecil lagi) bapak ini cuma cleaning service, gajinya kira-kira 700 ribu per bulan. Anak bapak tuh ada 2. Yang 1 masih SMA kelas 2, yang satunya lagi umur 5 tahun. Bapak pengen anak-anak bapak bisa sekolah yang tinggi. Jangan sampai nasibnya kayak bapak. Makanya buat nambah-nambah penghasilan, istri bapak juga jualan siomay. Apalagi anak bapak yang pertama udah SMA. Bapak mikirin gimana nanti kuliahnya. Bapak mah syukur aja yang ada sekarang, pokoknya anak-anak bapak bisa sekolah tinggi.
Gue pun tersenyum lagi..
Gue : iya pak, apapun keadaannya, berapa pun yang bapak miliki, syukuri saja. Yang penting rezeki yang kita peroleh itu halal dan berkah. Semakin kita bersyukur, semakin banyak pula yang kita peroleh.
Bapak : iya neng, memang harus bersyukur. Neng juga semoga lancar kuliahnya, cepet lulusnya.
Gue dan Dilla: aaaaamiiiinnnnnnnn
Bapak : neng, minum dulu atuh ya..
Dilla : nggak usah pak, maaf jadi ngerepotin
Gue :iya pak nggak usah, lanjutin aja nonton bolanya. Ntar sedih pak kalo nggak liat pas gol-nya.
Kita bertiga tertawa. Sayangnya, pembicaraan yang hangat itu berakhir karena tuntutan sang waktu.
Gue dan Dilla pamit pulang.
Kita pun ngumpul lagi dengan anak-anak yang lain. Mereka saling menceritakan pengalaman survei. Rata-rata yang mereka bahas adalah mengenai penghasilan tiap kepala keluarga. Penghasilan per bulan mereka itu berkisar antara 300 ribu hingga 700 ribu. Bahkan ada juga yang kurang dari 300 ribu. Gue ngebatin lagi:
‘ 300 ribu? Itu kan bayaran kost-an gue tiap bulan. Itu pun belum termasuk uang jajan. sedangkan mereka 300 ribu untuk satu keluarga, anaknya ada yang sekolah, ada yang mau kuliah. Keadaan rumah mereka pun biasa, bahkan ada yang masih berbilik bambu, berlantai kayu, perabotan rumah seadanya dan tata letaknya kurang teratur. Sedih banget liatnya. Biasanya gue cuma liat di tipi, sekarang gue terjun langsung ke dunia nyata. Buat gue, ini bukan hanya sekedar survei, gue belajar banyak hal dari sini. ‘
Survei hanya berlangsung kurang lebih selama 1 jam. Sayang sekali waktu kembali berbicara, memaksa kita untuk pulang, mungkin juga untuk merenung.
Well, esensi dari kegiatan survei ini, selain mendapat pengalaman cara melakukan survei, kegiatan ini bisa menumbuhkan kepedulian sosial kita. Ternyata banyak orang di sekitar kita, di sekitar kampus kita, yang kehidupannya mungkin tidak lebih baik dari kita. Mereka ingin punya kehidupan yang baik, tapi mereka tidak memiliki perencanaan yang matang. Hal itu disebabkan oleh pendidikan mereka yang tergolong minim. Bersyukurlah kita yang masih bisa kuliah, keadaan keluarga yang berkecukupan, orang tua bisa ngasih kita motor, mobil, laptop, HP, mengantar dan menjemput kita (buat yang masih suka diantar-jemput ngampus), dan memenuhi segala yang kita butuhkan. Apalagi yang belum bisa cari uang sendiri. Semuanya terfasilitasi dengan baik, membuat kita terlena dan tidak mengenal kata perjuangan.
Ayo renungkan, sudah sejauh mana rasa syukur kita atas nikmat yang telah kita miliki?
Hari ini gue sama temen-temen seangkatan dijadwalkan untuk ikut survei ke desa Cileles, Jatinangor. Kegiatan survei ini diadakan oleh Departemen Pengabdian Kepada Masyarakat ( Dept.PKM) dari BE HIMASTA 2011. Sebagai angkatan baru, kita diminta untuk berkontribusi aktif di kegiatan itu. Sebelum survei, kita harus kumpul dulu sekitar pukul 15.00 WIB untuk technical meeting, tapi ternyata tidak jadi technical meeting dan kita baru berangkat dari jurusan menjelang pukul 16.00 WIB. Kita berangkat dipandu sama beberapa kakak tingkat.
Singkat cerita, kita udah ada di sebuah pertigaan jalan deket kandang sapi. Kita pun berbelok ke arah yang ada kandang sapinya itu. Ketika berbelok ke jalan itu, gue langsung menerawang ke langit, ceritanya lagi flashback. Gue inget setiap kali gue naik angkot gretong atau odong-odong di kampus, cuma jalan itu yang nggak dilewatin ama angkot atau odong-odong. Gue penasaran dan berharap suatu hari nanti ada waktu buat jalan-jalan lewat situ. Dan harapan itu terkabul. Flashback udahan.
Pas lewat jalan itu, kita ngeliat 3 ekor sapi di kandang. “ ih, itu ada sapi! Sapi woy, sapi!!“ kata beberapa temen gue histeris. Gue ngebatin:
‘kasian mereka. Kayaknya nggak pernah liat sapi.’
Nggak lama kemudian, gue ngeliat ekor sapi-sapi itu berayun-ayun ke kanan-ke kiri. Gue dengan polosnya, “ eh, itu ekor sapinya gerak-gerak. Liat deh, liat tuh (sambil nunjuk-nunjuk, nggak kalah histeris)”.
Ternyata gue ama mereka sama aja.
Sepanjang jalan, gue sama temen-temen gue bersenda gurau. dari kejauhan, gue ngeliat di barisan depan ternyata ada yang bawa kamera. Mereka yang berada di sekitar pemilik kamera tentu mendapat jatah untuk foto-foto. Ah, sialan! Gue salah menempatkan diri. Harusnya gue ada di sekitar situ juga. Haha. Udah badan kecil, baris di belakang, ckckck.
Singkat cerita lagi, kita udah ada di desa Cileles. Tiap kelompok udah dikasih kuisioner, di situ ada beberapa pertanyaan sebagai bahan wawancara ke warga desa. Karena gue kelompok 1, jadi dapet giliran pertama. Dalam satu kelompok, kita berpasang-pasangan dan berpencar ke rumah-rumah warga. Gue sama partner gue, Dilla, kebagian survei ke 3 kepala keluarga. Ini kutipan proses wawancara ke salah satu kepala keluarga:
Gue : (mengetuk pintu) Assalamu’alaikum…
Dilla : Assalamu’alaikum
Pintu rumah belum dibuka, padahal dari luar jendela, keliatan ada bapak-bapak yang lagi nonton bola di dalem rumah. Setelah diketuk beberapa kali, sang bapak belum juga beranjak dan tetap fokus menonton bola. Rasanya gue pengen masuk, nyamperin si Bapak, menarik kerah baju si bapak dan bilang, “ pak, ada tamu!” *plakk..tentu hal itu nggak mungkin gue lakuin.
Dengan terpaksa gue dan Dilla sedikit meninggikan suara hingga beberapa oktaf supaya bapaknya denger. Dan…Alhamdulillah, bapaknya sadar kalo ada 2 orang anak kecil yang sedang meronta-ronta minta dibukakan pintu. Bapak tersebut pun membukakan pintu. Sang bapak mempersilahkan kita masuk dan duduk di sofa ruang tamu. Wawancara pun dimulai.
Dari wawancara itu, ada bagian yang sangat menyentuh.
Gue : maaf pak, pendidikan terakhir bapak apa ya?
Bapak : hm..(sambil tertawa kecil) SD, neng.
Gue tertegun, menghela nafas panjang
Gue : maaf pak, sekali lagi maaaafff, pendapatan per bulan bapak berapa?
Bapak : hm..(tertawa kecil lagi) bapak ini cuma cleaning service, gajinya kira-kira 700 ribu per bulan. Anak bapak tuh ada 2. Yang 1 masih SMA kelas 2, yang satunya lagi umur 5 tahun. Bapak pengen anak-anak bapak bisa sekolah yang tinggi. Jangan sampai nasibnya kayak bapak. Makanya buat nambah-nambah penghasilan, istri bapak juga jualan siomay. Apalagi anak bapak yang pertama udah SMA. Bapak mikirin gimana nanti kuliahnya. Bapak mah syukur aja yang ada sekarang, pokoknya anak-anak bapak bisa sekolah tinggi.
Gue pun tersenyum lagi..
Gue : iya pak, apapun keadaannya, berapa pun yang bapak miliki, syukuri saja. Yang penting rezeki yang kita peroleh itu halal dan berkah. Semakin kita bersyukur, semakin banyak pula yang kita peroleh.
Bapak : iya neng, memang harus bersyukur. Neng juga semoga lancar kuliahnya, cepet lulusnya.
Gue dan Dilla: aaaaamiiiinnnnnnnn
Bapak : neng, minum dulu atuh ya..
Dilla : nggak usah pak, maaf jadi ngerepotin
Gue :iya pak nggak usah, lanjutin aja nonton bolanya. Ntar sedih pak kalo nggak liat pas gol-nya.
Kita bertiga tertawa. Sayangnya, pembicaraan yang hangat itu berakhir karena tuntutan sang waktu.
Gue dan Dilla pamit pulang.
Kita pun ngumpul lagi dengan anak-anak yang lain. Mereka saling menceritakan pengalaman survei. Rata-rata yang mereka bahas adalah mengenai penghasilan tiap kepala keluarga. Penghasilan per bulan mereka itu berkisar antara 300 ribu hingga 700 ribu. Bahkan ada juga yang kurang dari 300 ribu. Gue ngebatin lagi:
‘ 300 ribu? Itu kan bayaran kost-an gue tiap bulan. Itu pun belum termasuk uang jajan. sedangkan mereka 300 ribu untuk satu keluarga, anaknya ada yang sekolah, ada yang mau kuliah. Keadaan rumah mereka pun biasa, bahkan ada yang masih berbilik bambu, berlantai kayu, perabotan rumah seadanya dan tata letaknya kurang teratur. Sedih banget liatnya. Biasanya gue cuma liat di tipi, sekarang gue terjun langsung ke dunia nyata. Buat gue, ini bukan hanya sekedar survei, gue belajar banyak hal dari sini. ‘
Survei hanya berlangsung kurang lebih selama 1 jam. Sayang sekali waktu kembali berbicara, memaksa kita untuk pulang, mungkin juga untuk merenung.
Well, esensi dari kegiatan survei ini, selain mendapat pengalaman cara melakukan survei, kegiatan ini bisa menumbuhkan kepedulian sosial kita. Ternyata banyak orang di sekitar kita, di sekitar kampus kita, yang kehidupannya mungkin tidak lebih baik dari kita. Mereka ingin punya kehidupan yang baik, tapi mereka tidak memiliki perencanaan yang matang. Hal itu disebabkan oleh pendidikan mereka yang tergolong minim. Bersyukurlah kita yang masih bisa kuliah, keadaan keluarga yang berkecukupan, orang tua bisa ngasih kita motor, mobil, laptop, HP, mengantar dan menjemput kita (buat yang masih suka diantar-jemput ngampus), dan memenuhi segala yang kita butuhkan. Apalagi yang belum bisa cari uang sendiri. Semuanya terfasilitasi dengan baik, membuat kita terlena dan tidak mengenal kata perjuangan.
Ayo renungkan, sudah sejauh mana rasa syukur kita atas nikmat yang telah kita miliki?
Comments
Post a Comment
ayo dikomen...