Lebaran Virtual

Sudah 2 tahun berturut-turut aku lebaran virtual dengan keluarga. Tahun lalu aku lebaran di kosanku dan hanya bertemu keluarga lewat video call. Di tahun kedua aku bisa lebaran di rumah, tapi tidak dengan anggota keluarga yang lengkap. Kakak dan adikku lebaran di perantauan karena mematuhi larangan mudik dari pemerintah guna menahan laju penularan Covid-19. Sehingga lebaran tahun ini tetap dilakukan secara virtual. 

Meski bisa lebaran di rumah, tetap saja terasa sepi. Di satu sisi aku merasa senang dan tenang bisa lebaran bersama orangtua, karena tahun lalu aku benar-benar lebaran sendiri di kosan. Tahun lalu adalah pertama kalinya aku berlebaran jauh dari orangtua. Tidak ada ketupat dan opor setelah sholat Ied. Aku hanya makan nasi dan telur ceplok. Itu juga sudah nikmat, tapi aku memakannya sambil berkaca-kaca karena rindu ingin pulang, ingin lebaran di rumah dan makan masakan buatan Ibuku. 

Tahun ini aku tidak makan nasi dan telur ceplok lagi setelah sholat Ied. Tapi karena kakak dan adikku tidak lebaran bersama di rumah, rasanya tetap berbeda. Aku rindu rumah yang ramai saat lebaran. Rindu melihat kakak dan adikku makan dengan porsi banyak, sungkeman dengan orangtua bergantian, lalu berkunjung ke rumah-rumah kolega untuk bersilaturahmi, main ke mall atau ke tempat wisata. 

Di lebaran virtual tahun ini, ada momen yang menarik, yaitu saat adikku sungkeman online dengan orangtuaku. Adikku ini baru saja diterima bekerja di luar kota pada 2 minggu sebelum lebaran. Sebelum adikku berangkat, Ibuku sempat berat untuk melepaskannya karena lokasi penempatan kerja adikku ini cukup jauh. Mengingat dia adalah anak bungsu yang tidak pernah kos, tentu menjadi kekhawatiran Ibuku, bahkan aku juga sempat khawatir. 

Saat ia sungkeman online, dia meminta kami semua untuk menyimak. "Bentar, adek mau sungkeman dulu". Begitu ucapnya. Lalu ia memohon maaf pada orangtua ku lewat video call itu dengan kata-kata yang baik dan lugas. Ibuku lalu menjawabnya dengan suara yang parau tapi terdengar ada rasa bangga pada anak bungsunya itu. Ternyata anakku ini sudah dewasa. Itu yang terdengar olehku. Aku sendiri juga berkaca-kaca melihatnya. 

Adikku ini orang yang agak tempramen. Ia sering beradu argumen dengan orangtuaku di rumah. Karena riwayat itu, pemandangan sungkeman ini jadi begitu mengharukan. 

Tapi meskipun virtual, aku bersyukur masih bisa menikmati momen lebaran bersama keluarga. Kami masih bisa berkomunikasi satu sama lain dengan baik, mengetahui kabar masing-masing, dan saling mendoakan untuk keselamatan dan kesehatan. Saat ini, bisa bertahan dalam keadaan selamat dan sehat sudah menjadi anugrah yang luar biasa. 

Aku berharap tahun depan kami bisa berlebaran secara tatap muka dengan formasi yang lengkap dan semuanya dalam keadaan sehat. Aamiin...


Comments

Popular Posts